MediaMuslim.Info – Suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa para Imam ketika dalam perjalanan ilmiyahnya mereka selalu melakukan perbaikan dan pengkajian madzhab mereka. Para Imam itu manusia yang bisa benar dan salah. Setiap kali umur mereka bertambah kemampuan ilmiyah merekapun bertambah, mereka mendapatkan ilmu yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya. Mereka adalah orang-orang yang wara’ dan taqwa, mereka tidak bertahan dalam kesalahan padahal mereka mengetahui kebenarannya.
Imam Syafi’i berkata: “Saya telah menyusun buku-buku ini tanpa usaha keras dan sudah barang tentu harus ada kesalahan, karena Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala telah berfirman:
ولو كان من عند غير الله لوجدوا فيه اختلافا كثيرا
“Kalau kiranya Al Qur’an itu bukan dari sisi Alloh, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (QS: An Nisaa`: 82) Maka apa yang engkau temukan dalam buku-bukuku ini yang tidak sesuai dengan Al Qur`an dan As Sunnah maka saya cabut pendapat saya.”
Imam Malik berkata: “Saya ini hanya seorang manusia biasa, yang bisa salah dan bisa benar. Maka perhatikanlah pendapat saya. Semua pendapat yang sesuai dengan Al Qur`an dan As Sunnah maka ambillah dan semua pendapat yang tidak sesuai dengan Al Qur`an dan As Sunnah maka tinggalkanlah.”
Abu Syaamah setelah menukil kedua pendapat Imam ini mengomentari: “Demikian pula kiranya semua Imam.”
Kita temukan ada beberapa Imam yang telah menunjukkan pada kita langkah yang dilakukan dalam memperbaiki dan mengkaji madzhabnya sehingga kita ketahui pendapat terakhirnya. Namun kita dapati pula beberapa Imam yang meninggalkan kekayaan ilmiyah berupa riwayat dan pendapat dalam masalah-masalah ijtihadiyah (masalah-masalah yang kesempatan ijtihad masih terbuka) tanpa menjelaskan pendapatnya yang dipilih dari sekian banyak pendapat.
Diantara Imam yang telah menjelaskan usaha perbaikannya adalah Imam Syafi’i –semoga Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala merahmatinya-. Beliau menyusun sendiri madzhabnya dan menjelaskan kadiah-kaidah dan prinsip-prinsip madzhabnya. Bahkan tidak hanya itu, beliau juga kembali mengoreksi dan memperbaiki madzhabnya. Madzhab barunya yang beliau susun di Mesir (Seperti kitab Al Umm) mencerminkan koreksi dan perbaikan untuk madzhab lamanya.
Ath Thufi –semoga Alloh Subhaanahu Wa Ta’ala merahmatinya- berkata: “Ada pendapat bahwa tidak ada lagi dari madzhabnya yang belum beliau jelaskan pendapat yang shahih (kuat) selain tujuh belas masalah, dalil-dalilnya bertentangan.”
Telah dinukil secara mutawatir dari para Imam Madzhab Syafi’iyah kesepakatan yang mewajibkan mengikuti perkataan-perkataan Imam Syafi’i dalam madzhabnya yang baru dan tidak boleh menganggap madzhabnya yang dulu sebagai madzhab.
Adapun orang-orang yang meriwayatkan Madzhab Imam Syafi’i yang baru (di Mesir) adalah Al Buwaithi, Al Muzani, Ar Rabi’ Al Muradi, Harmalah, Yunus bin Abdil A’la, Abdullah bin Zubair Al Makki dan lain-lain.
Imam Nawawi mengatakan: “Semua masalah yang memiliki dua pendapat (lama dan baru) dari Imam Syafi’i maka pendapat yang baru itulah yang benar dan yang diamalkan.”
Ibnul Qayyim mencela para mufti dari berbagai madzhab yang berfatwa dengan pendapat-pendapat lama para Imam mereka. Namun bisa jadi fatwa para ulama madzhab tersebut dengan pendapat lama Imam mereka bukan karena menganggap bahwa masalah tersebut madzhab yang dianut oleh Imam, tetapi itu adalah pilihannya setelah melalui proses ijtihad.
(Sumber Rujukan: Al Madkhal Ila Dirasatil Madarisi Wal Madzahibil Fiqhiyyah, DR. Umar Sulaiman Al Asyqar)
0 komentar:
Posting Komentar